Berita  

Gugatan Pencemaran Nama Baik Ditolak Mediasi, Penggugat Mangkir Dua Kali di PN Gresik

gugatan pencemaran nama baik ditolak mediasi, penggugat mangkir dua kali di pn gresik

GRESIK, FORPIMNAS | Sidang lanjutan perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) terkait dugaan pencemaran nama baik dengan nomor perkara 66/Pdt.G/2025/PN.Gsk kembali digelar di Pengadilan Negeri Gresik pada Kamis (28/8/2025). Gugatan ini diajukan oleh AM (48) terhadap orang tua korban, namun proses mediasi kembali gagal lantaran penggugat tidak hadir.

Ketidakhadiran AM bukan kali pertama. Pada sidang mediasi sebelumnya, 21 Agustus 2025, ia juga absen karena masih menjalani penahanan di Polres Gresik atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Kuasa hukum tergugat, Moh. Nurul Ali, S.H.I., M.H., menyayangkan absennya penggugat dalam dua kali agenda mediasi. Ia menilai hal tersebut sebagai bentuk ketidakseriusan dan tidak adanya itikad baik dari pihak penggugat.

“Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, kehadiran para pihak dalam mediasi bersifat wajib. Bahkan jika tidak memungkinkan hadir secara fisik, penggugat dapat mengikuti melalui video conference. Tapi itu pun tidak dilakukan,” tegas Nurul Ali.

Dengan kondisi tersebut, pihak tergugat menyatakan menolak melanjutkan proses mediasi dan siap menghadapi gugatan ke pokok perkara.

Sementara itu, kuasa hukum penggugat, Jefry, tetap bersikukuh bahwa gugatan ini merupakan hak hukum perdata yang sah. Ia menegaskan bahwa status pidana kliennya tidak serta merta menghapus hak untuk mengajukan gugatan perdata.

“Dalam hukum dikenal asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali — tidak ada perbuatan yang dapat dihukum tanpa aturan hukum yang mendahului. Gugatan ini menyangkut hak privat yang harus diuji secara objektif di pengadilan,” ujar Jefry.

Majelis hakim kemudian menjadwalkan sidang lanjutan dengan agenda jawaban gugatan pada 4 September 2025 melalui sistem e-court. Tim hukum tergugat menyatakan siap mengawal proses hukum hingga tuntas.

“Kami berharap keadilan berpihak pada anak korban dan keluarganya. Jangan sampai proses hukum justru menjadi alat untuk membalikkan posisi korban,” tambah Nurul Ali.

• Pasal 81 UU No. 35 Tahun 2014 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dapat dikenai pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
• Perma No. 1 Tahun 2016 mewajibkan kehadiran para pihak dalam mediasi sebagai bagian dari proses penyelesaian sengketa perdata.
• Pasal 3 dan Pasal 4 KUHPerdata menjamin hak setiap warga negara untuk mengajukan gugatan perdata, namun harus dilakukan dengan itikad baik dan tidak bertentangan dengan hukum pidana yang sedang berjalan.

Perkara ini memicu perhatian publik karena dinilai sebagai bentuk ironi hukum. Seorang tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak justru menggugat orang tua korban atas pencemaran nama baik. Banyak pihak menilai hal ini berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi balik terhadap keluarga korban. [Hms-Forpinas]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *